“Fenomena apa ini Nor, gereja penuh pas Paskah aja dan mereka sudah datang 2 jam sebelum misa dimulai. Mungkin lebih enak misa di stasi yang lebih kecil, jadi lebih bermakna misa Paskahnya...”
Itu hasih percakapan melalui layar handphone alias sms antara saya yang sedang berada di salah satu stasi kecil di tengah perkebunan Kelapa Sawit di daerah Riau dengan teman kantor yang sedang berdesak-desakan untuk masuk ke salah satu gereja mewah dan pasti wangi di daerah Meruya. Kebayang betapa menyebalkan untuk ke gereja aja harus siap kurang lebih 2 jam sebelum misa dimulai, terutama jika NaPas alias Natal dan Paskah, eh...pas sampai di gereja, ternyata gereja sudah penuh. Bukan penuh dengan orang, tapi penuh dengan buku yang diletakkan di kursi kosong karena orangnya belum datang, tapi dia titip kursi ke teman atau keluarga yang datang lebih dahulu. Lucu sekali! Dan memang jadi bikin panas itu kursi!
Fenomena kursi panas ternyata bukan hanya terjadi di kancah politik negeri ini yang memang benar-benar panas. Bagaimana tidak pada berebutan kalo seorang anggota DPR bisa mendapatkan gaji tiap bulan di atas 40 juta rupiah. Wow....!!! Enak banget ya?! Maka...mereka rela jual sawah, jual sapi, jual suara sampai jual diri dan mengemis untuk dapat duduk di kursi panas di Senayan sana, yang kalau siang memang panas banget sih.
BENARKAH?!
Benarkah lebih enak untuk misa di stasi kecil yang jauh dari jangkauan modernitas atau metropolis? Ternyata...TIDAK! Kursi-kursi gereja itu tetap menjadi kursi panas terutama di misa-misa spesial atau ketika gereja-gereja kecil itu kedatangan pejabat gereja, seperti seorang Uskup, atau mungkin seorang Duta Besar Vatikan. Kursi itu tetap PANAS!
Berikut saya share beberapa pengalaman menarik tentang perjalanan saya, pengalaman yang membuat saya geleng-geleng kepala seraya membatin: “kok gitu, ya..?”
KAMIS PUTIH – STASI SEI GARO
Saya selalu nyaman untuk menarik diri terutama di kelompok baru. Mungkin sikap ini membuat saya kerap di cap sombong. Bukan membela diri, tapi demi kenyamanan berbagai pihak, sampai saat ini saya merasa bahwa sikap itu masih berlaku dan tetap bijaksana, bagi saya lho...Maka, itu yang saya lakukan ketika masuk ke gereja untuk ikut misa Kamis Putih di satu stasi di daerah Sei Garo, Riau. Saya mengambil tempat duduk di baris ke-2 dari depan. Saya mengambil tempat yang saya pikir aman untuk segala hal: barisan para suster. He...he...he...mungkin saya terlalu naif ketika melempar senyum ke mereka, senyum saya tidak ditanggapi. Oh...okay! Mungkin tidak terlalu terlihat tarikan bibir saya ke samping kanan dan kiri sehingga bisa dibilang membentuk sebuah senyuman. Lalu misa pun di mulai. Saya salah karena saya tidak mempersiapkan diri untuk membawa Puji Syukur, si buku lagu. Mungkin karena selama saya bergereja di Jakarta, buku tersebut tidak pernah saya bawa dari rumah karena sudah disediakan oleh gereja; dipinjamkan selama misa kepada umat. Jadi faktor kebiasaan itu membawa “petaka” kecil pada saya. Sepanjang misa, dari lagu pembukaan sampai lagu penutup, suster tua yang duduk di samping saya yang hanya berjarak 15 sentimeter, halaman-halaman dari buku lagu itu tidak pernah mampir sedikitpun ke sudut pandang mata saya! Hah!!! They’re just human beings or I expect too much?! Tidak mau berargumentasi mengenai hal itu, saya hanya membatin: “holy mother of God, how could she do such thing?!?” Not an inch!!! Panaskah kursi saya sore itu? Panas banget sampai sekarang pun saya masih bisa merasakan panaskah kursi itu.
SABTU PASKAH, STASI ST. MARIA BAGAN BATU
Karena hujan, walaupun tempat misa dengan tempat tinggal sementara saya selama di Bagan Batu hanya berjarak 1,5 menit jalan kaki, saya hanya bisa pasrah ketika hujan mendesak untuk turun beberapa menit sebelum misa dimulai. Apa mau dikata, pakai payung juga akan basah lebih baik tunggu sebentar lagi. Alhasil, ketika hujan benar berhenti, saya pun pasrah tidak mendapat kursi incaran saya siang tadi: sebelah kiri baris ke-3. Kenapa sangat spesifik? Gereja baru ½ selesai maka debu ada dimana-mana, setelah melakukan penelitian kecil, ternyata kursi di baris ke-3 itu paling bersih. Hhhmmm...sudah penuh dengan manusia yang berdesak-desak. Ketika saya tanya di baris ke-4 yang masih bisa memuat 2 orang lagi, inilah jawaban mereka: “ini untuk petugas liturgi malam ini!” dengan pongah, pongah, pongah! Ketika saya tanya berapa baris untuk petugas, tampaknya pertanyaan sederhana itu tidak dapat dijawab dengan gampang, justru jawaban ini yang mereka berikan: “banyak petugasnya!” aaaarrrrgggghhhh.....! dan...yang menjawab adalah seorang ibu yang saya temui sebelum misa, dan dia tahu saya siapa. No hospitality at all, no frendliness!
Ketika misa dimulai selesai upacara cahaya, he...he...he...baris 1-2 saja yang memuat petugas liturgi yang sangat sangat sangat tidak profesional dan terkesan kacau balau, sementara baris incaran saya disesaki oleh orang-orang yang saya yakin 102% bahwa mereka bukan petugas liturgi! Mammamia!!! Lalu, apa yang dilakukan oleh si ibu yang menjawab sombong pertanyaan saya tentang berapa jumlah baris?! Dia TIDUR sepanjang misa. Hua...hua..ha..kesal sambil meringis melihat kepongahan tak berarti dari orang yang bagi saya: ngga penting banget deh!
So...masih berpikir bahwa berdesak-desakan di gereja mewah 1-2 jam sebelum misa dimulai namun notabene masih ada tata tertib masih menjadi fenomena baru dan menyesakkan dada?! Atau pilih pengalaman saya yang sangat membuat tidak nyaman tadi?!
Well...kursi itu masih dan akan tetap panas. Trust me on this!
Bagan Batu, Riau, 12 April 2009
Comments
Post a Comment