Skip to main content

A Disguised Blessing

~ What seems to us as bitter trials are often blessing in disguise ~ Oscar Wilde
WHY ME?
"Lho...kok ngga ada Nor, ngga keliatan bayi mu?" kata dokter Obgyn ketika melakukan USG I di minggu ke-8 kehamilan. "Bohong, ngga mungkin ngga ada, ngga keliatan kali, dok...(masih nawar.com)!". Dokter terus menggerak-gerakkan alat USG, memuaskan keinginan calon ibu yang lagi nawar. "Ngga ada, Nor. Mungkin elo salah hitung kali, kan harusnya dia sebesar kacang polong kalo udah 8 mingguan!".
Deq...kok ya aneh, jantung berdegup kencang tapi lemes banget waktu berpakaian kembali. Sementara dokter ngobrol dengan Erick, udah ngga denger lagi dia ngomong apa. Begitu banyak hal berkecamuk, begitu banyak "apa" yang tidak bisa dijawab saat itu tapi terus mendesak minta dijawab!
"Kok bisa, dok?" Itu pertanyaan calon ayah dan ibu yang masih blo'on plus lugu, ngga rela kalo ngga ada si jabang bayi ngga keliatan di layar monitor dan di kertas hasil USG.
"Gini...ada kemungkinan kalian salah hitung karena mens kamu mungkin telat-telat, Nor. Tapi, ada kemungkinan juga tidak berkembang. Alam itu luar biasa, Nor. Kalau tidak bagus, dia akan "luntur" sendiri. Pikir positif aja, mungkin malaikat Gabriel lihat yang ini ngga bagus buat kalian. Aku kasih obat penguat janin ya, datang lagi kesini dalam 2 minggu dan kita lihat hasilnya. Untuk sementara tetap minum vitamin, tetap minum susu dan pikir positif aja!"
Lemes dan lunglai kami berdua jalan keluar dari ruang praktek dokter. Ngga sampai ratusan pertanyaan sih, tapi mungkin ada 2-3 pertanyaan yang paling menohok: "kok bisa sih ngga keliatan?" dan "apakah salah hitung?". Masih terngiang kalimat dokter tadi: "Gue juga pernah kok, Nor. Pertanyaannya adalah: "why me?" tapi tetep ngga ada yang jawab tuuuh..."
THE WEEK AFTER
It was hell! Setiap hari ada kejadian yang buat takut, tenang lagi karena googling bilang bahwa kejadian-kejadian tersebut biasa di trimester I kehamilan, tapi kemudian takut lagi karena baca artikel lain. Terus berdoa walau sedikit demi sedikit keraguan akan keberhasilan si jabang bayi terus membayangi. Sampai akhirnya, dengan kekuatan yang tinggal sedikit saya "merelakan" jika memang dia tidak mau berkembang. I let you go, little darling...
Hari itu, satu minggu sejak kunjungan terakhir ke dokter, kami masuk lagi ke antrian para wanita hamil di depan ruang praktek dokter. Kali ini agak "cemburu" ngeliat ibu-ibu dengan perut sedikit buncit dan buncit banget. Ngga mau liat, ah...bikin stres.
"Lho...kok dateng lagi, kan jadwalnya minggu depan, ada apa nih?" Pasti tidak bisa menyembunyikan dan merasa bahwa dokter adalah orang yang paling bisa diberi curahan hati tentang masalah ini, semua kejadian sejak keluar dari ruang prakteknya minggu lalu mengalir lancar. Dokter senyum seolah dia sudah tahu apa tindakan selanjutnya. "Aku sebenarnya udah curiga di USG I itu, Nor. Tapi, aku ngga mau judgmental karena itu pemeriksaan I kita. Well, kita sudah usaha ya, Nor. Aku udah kasih obat juga, tapi ternyata memang benar dia tidak bisa berkembang. Kuret aja ya, Nor. Memang ada 2 cara: pertama diberi obat untuk menghentikan dan melunturkan sisa-sisa janin dengan kemungkinan bisa di kuret juga. Kedua adalah: di kuret langsung sekarang dan selesai. Sekarang!?!? Hah...?! Gila apa nih orang? Kayak nawarin: mau pisang goreng, gak? Ilmu ekonomi kembali terjadi disini: tawar menawar! Karena dengan entengnya dia langsung telp ke kamar bedah dan sudah mau pesan tempat untuk di kuret malam itu; jam 20.30!!! "Tapi saya masih berdarah, dok! Besok aja deh.., please?! "OK, besok pagi ya, Nor. Jam 9. Datang jam 8 untuk antibiotik. Sekarang ambil darah dulu dan langsung ke kamar bedah untuk daftar." "Kuret berapa lama, dok?" "5 menit, tapi bius yang lama, sekitar 1 jam!
Keluar dari kamar praktek: lega tapi juga takut and deq-deqan. Hadoooooooohhh....! Lega karena memang itu jalan alam: only the fittest will survive. Takut karena kebayang alat-alat yang akan digunakan (udah pernah liat alat-alatnya dulu ketika ada dokter kandungan datang ke kantor dan kasih presentasi tentang kuret dan fungsi obat anestesi yang diproduksi perusahaan). Edaaaan!!!
Ngga mungkin bisa tidur nyenyak, dong? Ngga tidur itu udah pasti, pengen cepet selesai aja. Jam 7 pagi itu keluar dari rumah menuju rumah sakit. Jam 8 kurang 15 menit udah menunggu dengan manis di depan registrasi menunggu mereka mempersiapkan segala sesuatu. Jam 8 dipanggil masuk. Erick masih nawar untuk ikutan masuk dan menemani. Jelas-jelas di tolak. Aduh, walaupun cuma berjarak satu pintu tapi kayaknya jauuuuh banget. Here I am, alone with me and the broken fetus and the unseen but can be felt strong power.
I SAW HIM
Dibantu seorang perawat wanita, saya melepas baju awam dan memakai baju operasi untuk kemudian berbaring di kereta dorong dan di dorong masuk oleh perawat wanita dan seorang bapak perawat yang sudah separuh baya. "Siapa yang jaga, Mbak? Baru pertama kali, ya?" Pertanyaan-pertanyaan sederhana tapi berusaha jawab dengan sopan. "Saya suntik antibiotik ya, Mbak...agak sakit ya!" Aduuuhh...perawat-perawat ini, baik-baik banget, bikin orang merasa sedikit (sedikit aja lho) tenang. Bapak perawat itu lagi: "dingin ya, Mbak?" He reminded me of my father. He also looked alike my late father. "Am I high now?" Oh belum, baru antibiotik kok, belum di bius.
Wow...ini seperti di film-film seri bule yang sering ditonton nih. Ditinggal sendiri, dia atas kereta dorong, ngelamun, mengharap suami tercinta bisa ada di samping and ngelus-ngelus tangan, ngebuat pikiran terbang melayang. Dinding abu-abu, langit-langit abu-abu. Suara para perawat bercanda sedikit menenangkan. Bersyukur dokter datang agak terlambat (hampir 1 jam lho...), membuat suasana hati jauh lebih tenang. Rosario udah, berdoa udah berulang-ulang sampai habis kata-katanya. Sampai akhirnya bapak perawat "jelmaan" Bapak datang lagi dan menghangatkan seputar wajah dengan handuk lembut: biar ngga kedinginan. Hhhhmmm....melted. Dia pergi, ada yang basah keluar dari mata ngalir ke pipi.
Tengok kanan dinding bisu dan salib. Tengok kiri ruang pemulihan (wait for me, room...I'll be there soon!). Tengok kanan lagi kok tenang ya melihat Yesus yang menggantung di salib di dinding. Lalu...entah imajinasi entah mimpi entah apapun itu, potongan-potongan gambar yang tampak nyata menghampiri.
Then I saw HIM. He was helping my doctor taking out the fetus. He was holding my doctor's hands working the curetage. Then I saw HIM standing by the doctor. On one hand, He took the broken fetus (I refused to capture it) and on the other hand He replaced it with the new one: the perfect, healthy and gorgeous looking one. It was the moment when I felt calmness all over my body. I knew that He was there, looking after me, cared for me and loved me. I was so ready, so...ready to come in to the operation room. Until I heard everybody yelling: the doctor is coming. Lalu semua adegan sama persis seperti film-film tentang dokter bedah. Wow!!!! Ketika sampai di ruangan yang lebih besar, dengan lampu-lampu di atas kepala, tim perawat plus dokter anestesi sudah siap untuk mempersiapkan tindakan medis ini. "Siapa yang tunggu?" kata salah seorang dari mereka. "Suami saya dan Mama!" "Oke, tidur ya, mimpi yang indah!" "Oke, sampai ketemu sebentar lagi, ya...wish me luck!" Then...I was gone by seconds.
THE MOMENT AFTER
"Air..air, saya haus, saya mau minum. Aaarrgghh...kejam kalian. Saya haus, minum...minum!" "Hmmm...dimana nih? Di kamar siapa nih, siapa sih nih orang berisik banget!" Tengok kanan kiri, eh...ada ruangan yang kenal nih beberapa jam lalu: ruang operasi. "Oh..udah di ruang pemulihan!" Terima kasih Yesus, terima kasih Bunda Maria! "I'm back!" Kemudian seorang perawat melihat ke arah saya sambil mengangkat jempolnya: "ibu udah, ya!"
Lalu...beberapa wajah yang saya kenal masuk ke ruang pemulihan termasuk ke dokter anestesi. "Thank you ya, Dok!" "OK!"
Bapak itu datang lagi menyambut, lalu kalimat pertama ini muncul: "Suami saya mana, Pak? Saya mau ketemu dong, kangen...!" "Sebentar saya cari ya, dari tadi dia di depan nungguin!" Hehehehehe...Erick, I know you were there all the time, darling!"
Jam menunjukkan waktu 11.00, wow...bener, kurang lebih 1 jam udah sadar lagi dan kembali ke dunia nyata. Ingin segera meninggalkan ruang pemulihan karena tampaknya tidak bagus berlama-lama disana.
Perawat pertama datang dan kembali membantu saya mengenakan baju yang tadi saya pakai dan meninggalkan busana ruang bedah. I'm so..alive when I saw Erick walking toward me and Mama was walking behind him. I feel OK.
THE DISGUISED BLESSING
Dibekali beberapa kantong obat, kami pulang ke rumah siang itu. Selesai makan siang, istirahat siang, tidur. Bangun, menerima telpon dan membalas pesan-pesan singkat yang masuk. One of the blessing in life: live with lots of love from families, friends, and collegues from the office.
Sore itu, entah kenapa jadi melankolis. Mungkin obat bius udah benar-benar habis dari darah dan keluar dari tubuh. Ketika sedikit nyeri menyapa, tanda bahwa benar-benar hidup! Sakit itu menjalar ke hati, nyeri juga tapi sakit ini tidak dibekali "pain killer" oleh dokter. Kembali ke pagi tadi, semua gambar itu menyatu kembali seperti film yang kembali diputar dan ditonton. Kali ini, bukan film tentang pengalaman orang atau cerita tentang kehidupan orang. Film itu tentang diri sendiri. Sesak sampai akhirnya keluar air mata. I was so sad, so very sad...! Erick once again was there, hugging and holding and listening not just hearing. We cried together. It felt so sad yet so relieved. I thought once again I fell in love with him. I thanked God for giving me him. He was so remarkable. Saat itu Erick baru cerita bahwa dia tetap di ruang tunggu yang hanya berbatas satu pintu, sebagai ujud dukungan dan seolah berada di dalam bersama. We knew at that time that we're gonna handle this well.
The disguised blessing was: we would be able to know each other better and deeper. We should make our foundation strong so that the family would be built up perfectly. I'd be able to know my husband well. We would be able to spend more time together, just the two of us for the time being.
That night, we again talked to HIM and thanked him for every possible thing that might happen that day. The disguised blessing was: we could feel the love thru anybody and anything. Both of us would be growing stronger everyday for bitter trials were often blessings in disguise.
I love you, EFK; now and when the time stops.

Comments

Popular posts from this blog

Booking Hotel di Traveloka Bikin Aku Melihat Dunia Lagi

Perjalanan sepuluh hari pulang ke Sumatera di Juni 2022 lalu meninggalkan banyak makna.  Rasa yang makin mengena yang pada perjalanan-perjalanan sebelumnya sejak usia muda malah mudah dilupa.  Mungkin usia.  Seorang teman baik pernah membagi perasaannya tentang nostalgia: "rasanya, setelah semakin tua aku makin ingin dekat dengan keluarga.  Bercengkrama, bertukar sapa walau hanya bisa mendengar suara tanpa harus bertatap muka."  Kalimat tersebut begitu menghanyutkan.  Sehingga, ketika pada akhirnya perjalanan di bulan Juni lalu berakhir, rasa dan nostalgia itu masih terus bergelayut.  Perjalanan yang dulu di masa muda terasa lama, sekarang meninggalkan rindu yang membabi buta.  Ingin kembali kesana.  Dan, kali depan aku harus pergi bersama dia.  Teman hidupku.  Berbagi rasa dan nostalgia.  Berdua.  Bersama.  Sinar matahari yang hangat menyambut kami di bandar udara Silangit, Siborong-borong.  Perjalanan menyusuri...

Sembilan Tahun

The secret of a happy marriage remains a secret - Henny Youngman  7 Agustus 2010 - 7 Agustus 2019:  Love is kind.  Love is patient.   3285 hari.  Iya, tiga ribu dua ratus delapan puluh lima hari sudah kami lewati.  Kalau cinta itu tidak baik dan sabar, tentu cerita akan bisa berbeda ketika tulisan ini dibuat. Rahasianya apa?  Mau banget berbagi rahasia, tapi seperti quote di atas: rahasia dari sebuah pernikahan yang bahagia akan tetap menjadi rahasia.  Sebenarnya bukan rahasia juga, karena akan senang juga kalau bisa berbagi dengan keluarga, teman dan kenalan yang sedang mencari kebahagiaan dalam satu hubungan.  Coba deh lihat  celotehan saya di bawah, rasanya sih ngga ada rahasia.  Hehehe.. Ketika kira-kira sepuluh tahun lalu saya hendak memulai perjalanan ini, tentu banyak bertanya, membaca, dan melihat beberapa kiat untuk memastikan bahwa keputusan besar yang akan saya ambil adalah benar dan akan menjadi benar di kem...

PARENTING 911

Jaman kuliah di fakultas Komunikasi Massa dulu belajar kalau mau tulisannya dibaca, maka buatlah judul yang menggelitik; provokatif tanpa harus jadi provokator. Saya dan suami diberkati dengan banyak hal selama hampir delapan tahun usia pernikahan kami, namun tampaknya Tuhan masih belum memberikan kami anak.  Tapi, sejak 5 tahun terakhir, kehidupan di rumah kami beberapa kali bersinar karena ada anak adik sepupu saya yang sejak bayi sudah mengenal kami dengan baik karena selama kurang lebih satu tahun, saya dan suami pernah tinggal di rumah Mama ketika rumah kami sedang dibangun.  Jadilah, si pengasuh mendapuk kami menjadi Papi dan Mami, sampai sekarang, sampai lahirlah anak kedua adik sepupu saya. Namanya Bianca.  Well, ini adalah nama pendek dari rangkaian namanya yang cantik.  Ternyata, nama ini terus dipakai walau tidak tertulis resmi di semua dokumennya.  Bianca sekarang sudah lima tahun, kelas TK A, sebentar di bulan Desember dia akan genap enam tahun....